April 30, 2010 oleh
darisman
Empat lembar surat ukuran A4 tertempel di dinding warung makan Sokhari. Surat berlambang burung garuda itu dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia. Surat ini ditujukan kepada Direktur Utama PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (Indah Kiat). bertanggal 15 Mei 2009. Ia ditembuskan kepada Sokhari dan warga kampung Glinseng melalui wakil dari Wahana Lingkungan Hidup Jakarta. Surat ini ditandatangani Nur Kholis sebagai anggota komisioner Komnas HAM bagian komisi pemantauan dan penyelidikan. Dalam surat terebut, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi “penetapan status quo” bagi lahan kampung Glingseng. Ia menyatakan tanah yang dipersengketan tidak boleh diperjual-belikan oleh salah satu pihak kecuali atas persetujuan dua belah pihak. Kedua pihak itu adalah warga kampung Glinseng dan PT Indah Kiat.
Surat tersebut merupakan respons atas pengaduan warga kampung Glinseng kepada Komnas Ham tertanggal 5 Februari 2009 yang meminta Komnas Ham melakukan penyelidikan atas sengketa warga kampung Glinseng dengan Indah Kiat. Permasalahan yang diawali sengketa tanah seluas 1,2 hektar yang masih dimiliki warga di kawasan Indah Kiat, kemudian berimbas pada permasalahan pembatasan hak hidup, hak bekerja, hak akses dan hak memperoleh pelayanan umum bagi warga Glinseng.
Sejak bulan Desember 2008, warga Glinseng menggalang dukungan dari berbagai elemen masyarakat lain guna menuntut apa yang menjadi haknya. Jumlahnya yang hanya 70 orang tak menyurutkan perjuangan mereka. Solidaritas perjuangan yang mereka galang didukung oleh berbagai organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa di Serang-Banten yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tertindas (AMAT). Warga bersama AMAT melakukan desakan kepada pemerintah setempat agar lebih melakukan langkah yang tegas terhadap sengketa yang terjadi antara warga kampung Glingseng dengan Indah Kiat. Tak hanya di wilayah Serang, mereka juga menggalang dukungan ke Jakarta. Pada tanggal 22 Januari 2009, sekitar 20 orang perwakilan warga dan AMAT mendatangi kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) di Jakarta. Mereka meminta Wahli untuk membantu perjuangan warga dalam menuntut haknya. Tak hanya Walhi Jakarta, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jakarta pun menyatakan solidaritasnya terhadap kasus yang menimpa warga Glinseng ini. LSM tersebut diantaranya adalah Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Mereka secara bersama-sama melakukan upaya advokasi dan pemantauan kasus ini di Jakarta. Bersama Tim inilah warga kampung Glinseng mendesak Komnas Ham untuk memberikan perhatian terhadap kasus yang mendera warga kampung glinseng. Desakan ini membuahkan hasilnya, Komnas Ham akhirnya melakukan penyelidikan dan pemantauan langsung ke lokasi tempat sengketa.
Setelah melakukan pertemuan dengan berbagai pihak di Serang, baik itu dengan pihak Indah Kiat, Pemerintahan Daerah dan warga, akhirnya komnas Ham dengan kewenangan yang dimilikinya mengeluarkan surat yang menyatakan Status Qou terhadap lahan dan permasalahan yang disengketakan serta meminta pemerintahan setempat untuk melakukan mediasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa sampai ditemukan solusi yang terbaik bagi kedua belah pihak.
SEKITAR tahun 1989 sampai 1992 terjadi proses jual-beli lahan antara warga di kecamatan Kragilan, Serang dengan PT Sinar Dunia Makmur, yang kemudian berganti nama menjadi PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk. Proses jual beli ini meliputi lima desa. Lahan tersebut rencananya akan dijadikan kawasan industri kertas dan bubur kertas oleh Indah Kiat. Pada awalnya proses jual beli lahan antara warga dengan Indah Kiat berjalan lancar. Namun tidak seperti yang direncanakan semula, proses jual beli lahan ini menyisakan lahan seluas 1,2 hektar yang masih dipertahankan warga dari kampung Glinseng Kecematan Kragilan. Warga enggan melepas kepemilikan lahannya kepada Indah Kiat dengan dasar bahwa harga yang ditetapkan oleh Indah Kiat dianggap tidak layak.
Tahun 1991, pabrik kertas itu mulai beroperasi, Pada awalnya tidak ada permasalahan yang muncul antara warga dengan pihak Indah Kiat. Semuanya berjalan lancar. Tetapi seiring dengan proses produksi yang makin meningkat dan aktivitas semakin banyak, kebutuhan lahan serta pemenuhan syarat sebagai kawasan industri yang harus bebas dari pemukiman penduduk menjadi hal yang harus diselesaikan oleh Indah Kiat. Harapannya Indah Kiat bisa membeli lahan yang masih dipertahankan oleh warga selama ini. Pada dasarnya jual-beli lahan merupakan hak kedua pihak. Bila mereka menemukan harga yang cocok maka proses ini bisa berjalan baik.
Menurut Sokhari tawaran dari Indah Kiat ini sebenarnya disambut baik oleh warga, warga berharap mereka bisa berhubungan secara lansung dengan Indah Kiat. Tanpa perantara. Layaknya penjual dan pembeli mereka bisa bernegoisasi sehingga penentuan harga bisa terjadi secara adil tanpa ada tekanan dan campur tangan pihak lain. Dalam praktiknya, ternyata tidak mudah. Banyak pihak yang memanfaatkan kondisi ini untuk mencari keuntungan sesaat. Suparno mengaku pernah beberapa kali didatangi oleh calo tanah. Mereka berusaha membujuk warga agar menjual tanah mereka kepada Indah Kiat. Terakhir kali kejadian tersebut pada tahun 2007, ada seseorang yang mengaku utusan dari Indah Kiat menawarkan harga tanahnya seluas 200 m2 dengan harga Rp. 250 juta. Karena Suparno tahu, bahwa yang datang ini adalah calo, Suparno bersih keras tidak mau melepasnya dengan harga yang ditawarkannya. Suparno mematok harga yang tinggi untuk setiap meter perseginya, yakni dengan harga Rp. 3 juta permeter persegi. Hal ini dilakukan sebanarnya untuk mensiasati agar para calo tidak mendatanginya lagi. Dan benar. Menurut Suparno, calo tanah tak berani lagi datang menemuinya lagi.
“kami hanya ingin pihak Indah Kiat secara langsung menawar harga tanah kami, kalau mereka menginginkan tanah kami, silahkan tapi dengan harga yang layak. Tapi kalau tidak, biarkan kami hidup dengan tenang disini” tegas Sokhari.
Sementara itu, Dani Kusuma dari Staf Humas Indah Kiat membantah bahwa Indah Kiat menggunakan jasa calo tanah untuk bernegoisasi atau membeli lahan milik warga. Dia malahan menduga ada warga lain yang mengetahui keinginan Indah Kiat untuk membeli lahan milik warga Glinseng dan memanfaatkannya untuk memperkaya diri. Dani juga menegaskan bahwa Indah Kiat terbuka untuk melakukan negoisasi dengan warga, akan tetapi karena harga yang ditawarkan oleh warga dianggap terlalu tinggi, Indah Kiat enggan melanjutkannnya.
“ kalo seandainya selisih itu sekitar Rp. 300.000 atau Rp. 500.000 kita masih mau negoisiasi”
Ada patokan yang berbeda yang dijadikan dasar penentuan harga tanah di kampung Glinseng. Indah Kiat berpatokan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), sementara warga kampung Glinseng mendasarkan pada nilai ekonomi dan sosial tanah yang mereka tempati saat ini.
Menurut pengakuan Sokhari, sebenarnya warga tidak keberatan untuk menjual tanahnya kepada perusahaan akan tetapi harga yang ditetapkan harus ditetapkan oleh kedua belah pihak dengan prinsip suka sama suka. Bukan berdasarkan harga NJOP. NJOP yang berlaku saat ini di wilayah tersebut senilai Rp. 128.000 per meter persegi.
“NJOP itu kan ditetapkan oleh pemerintah bukan kita, kita sangat bergantung pada tanah kita disini, kalau kita jual terus kami mau kemana? Bagaimana dengan mata pencaharian kami dan kehidupan anak cucu kami? Untuk itu kami hanya akan melepas tanah ini dengan harga yang layak menurut kami”
Sementara Alan Novianto Syam, salah satu staff humas menganggap bahwa harga tanah yang ditawarkan oleh pihak perusahaan sudah merupakan harga yang sesuai bahkan lebih dari ketentuan yang ditetapkan oleh perusahaan.
“Kalo saja yang tinggal disana itu waras, dengan ganti rugi yang ditawarkan itu, mereka sudah layak. itu sudah diatas NJOP.” Ungkap Alan, staf humas indah Kita yang mencoba menjelaskan.
Alan menambahkan bahwa harga yang ditawarkan oleh warga merupakan harga yang timbul akibat mereka selama ini merasa ditekan oleh Indah Kiat.
“ini Harga konflik, harga sakit hati” dengan penuh keyakitan Alan menerangkan bahwa sebenarnya ada beberapa orang warga yang sakit hati kepada Indah Kiat . Beberapa kali perusahaan pernah menawarkan tanah warga diatas harga itu, tapi warga tidak mau dan malah menginginkan harga yang diluar batas kewajaran. Menurut Alan, warga meminta harga sekitar tiga sampai dengan lima juta rupiah per meter persegi. “sepertinya warga menggunakan azas manfaat, karena Indah Kiat yang butuh, maka mereka minta dengan harga yang tinggi” tegas Alan.
Sebenarnya yang dituntut warga selama ini bukanlah persoalan harga tanah, akan tetapi mempersoalkan tindakan-tindakan perusahaan yang selama ini mereka anggap telah mengganggu keberlangsungan hidup mereka. Pada dasarnya, ada dua kepentingan yang berbeda antara warga kampung Glinseng dengan Indah Kiat. Warga tinggal di kawasan Indah Kiat menginginkan lingkungan mereka nyaman dan layak untuk menjalankan aktivitas sehari-hari mereka. adanya keleluasaan ketika melakukan aktivitas sosial dan ekonomi mereka. Namun kepentingan warga ini tidak bisa terpenuhi oleh Indah Kiat. Indah Kiat sebagai perusahaan besar yang memproduksi pengolahan kertas ini, tidak bisa menghilangkan kebisingan, polusi atau pun warga bisa seenaknya keluar masuk di areal Indah Kiat. Sebagai sebuah perusahaan, Indah Kiat memiliki aturan dan managemennya tersendiri.
“Ini kan kawasan industri, apalagi lokasi mereka itu tepat berada di samping gudang dan tempat bongkar-muat barang, jadi banyak dilalui oleh truk kontainer. Suara bising dan polusi lainnya menjadi risiko dari warga yang tinggal di lokasi di dalam perusahaan ini,” kata Dani.
“Yah.., kalo warga ingin hidup nyaman bukan di sini tinggalnya. Mereka tahu bahwa kawasan ini adalah kawasan industri dan bukan diperuntukan sebagai tempat tinggal,” ujar Alan menambahkan.
Namun, Sokhari berpendapat, warga yang seharusnya “berhak mempertanyakan hal itu.” Alasannya, warga Glinseng yang lebih dulu tinggal di lahan tersebut. Dia bilang, harusnya PT Indah Kiat tidak mengganggu kehidupan warga.
”Siapa yang lebih dulu tinggal di kampung ini, kami atau perusahaan, harusnya kami yang menggugat ini.” Ujar Sokhari, dengan nada tinggi.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal Pasal 36 ayat 1 bahwa Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). AMDAL dan UKL-UPL merupakan salah satu prasyarat izin usaha yang harus dimiliki oleh setiap badan usaha atau perusahaan yang akan didirikan. Bila perusahaan tidak bisa memenuhi persyaratan ini, izin usahanya bisa dicabut.
Mengenai persoalan izin usaha ini, pada awal bulan Februari 2009 Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta sempat mempersoalkan permasalah ini kepada Bupati Serang. Menurut Ubaydillah, Direktur Walhi Jakarta bila mengacu Amdal sebagai prasyarat pendirian ijin usaha, seharusnya Indah Kiat tidak boleh beroperasi terlebih dahulu sebelum merelokasi semua warga di kawasan tersebut.
“kalo
pun ada Amdalnya, mungkin Amdal-Amdalan” Ungkap Ubaydillah. Dengan nada meragukan proses perijinan yang dilakukan Indah Kiat.
“Izin lokasi kita lengkap kok” Alan membantah pihak-pihak yang meragukan peizinan yang dilakukan oleh Indah Kiat.”Bukti nya sampai hari ini kita masih beroperasi dan pihak pemerintah, tidak mempersoalkan permasalahan ini”.
Pendapat Alan ini diperkuat dengan surat tanggapan Bupati Serang kepada Walhi Jakarta tertanggal 22 Februari 2009 yang menyatakan bahwa Indah Kiat memiliki legalitas perizinan usaha yang lengkap, baik persetujuan penananman modal, ijin lokasi, ijin mendirikan bangunan dan perijinan lainnya. Disamping itu pula Indah Kiat sejak tahun 1991 sudah memiliki pedoman pengelolaan lingkungan berupa Amdal.
“Yah Kalo dirunut-runut Pemda juga punya andil masalah, kita punya izin lokasi, kok masih ada penduduk di daerah industri. Yang namanya pabrik dan rumah tinggal pasti kepentingannya bersinggungan terus,” Kata Alan.
Entah mana yang benar, dari pihak-pihak yang terkait permasalahan perijinan Indah Kiat. Hanya yang pasti Sokhari beserta warga kampung Glinseng lainnya merasa bahwa keberadaan Indah Kiat saat ini mengancam keberlangsungan hidupnya.
Malam itu, tepatnya tanggal 8 Agustus 2009, beberapa sopir dan kernet terlelap. Mereka telentang di teras rumah Sokhari. Telanjang dada. Sementara disudut kanan teras yang berkeramik itu, empat orang lainnya sedang asik bermain
Krambol, mata mereka selalu awas pada orang yang melalui pintu masuk menuju halaman rumah Sokhari tersebut. Satu orang yang menghadap langsung ke pintu masuk dengan seksama memperhatikan wajah dua orang yang masuk. Tatapan nya tajam menelisik. Dan setelah dua orang yang baru masuk itu mengeluarkan kata “hey” sambil mengangkat tangan kanannya, dia pun tersenyum dan sambil berbisik kepada temannya dia kembali melanjutkan permainannya.
Dua orang karyawan Indah Kiat yang baru masuk berjalan ke sebelah kanan halaman rumah tersebut, mereka masuk menuju warung milik Sokhari. Tak berpikir lama mereka langsung mengambil piring, dan menuangkan dua
cukil nasi di atasnya. disusul orang yang dibelakangnya. Mereka terdiam sesaat mengamati lauk yang tersedia di etalase dan dengan tangkas segera mengambilnya beberapa potong lauk yang ada. Setelah melihat sekelilingnya yang lengang, mereka mengambil posisi menuju bangku disebelah kanan mereka. tak lama kemudian, si penjaga warung langsung bergegas menghampirinya sambil membawakan segelas air teh hangat. Suasana yang temaram di warung tersebut tak menghambat kenikmatan mereka menyantap setiap makanan yang hinggap dimulut mereka.
Di lorong penghubung warung dengan halaman belakang rumah Sokhari, sang pemilik warung sedang asik duduk di sebuah kursi. Saudaranya, Suparno, duduk menenaminya. Sokhari duduk menyandarkan diri ke punggung kursi. Sebatang rokok tampak diapit oleh jari kanannya. Rokok pun didekatkan ke mulutnya. Di hisap dalam. Kemudian asap rokok pun keluar dari mulutnya. Suparno pun tak mau kalah, diapun menghisap rokoknya lalu menghembuskannya. Lorong pun dipenuhi kepulan asap yang keluar dari mulut mereka. Di temani dengan segelas kopi dan sepiring makanan ringan mereka dengan semangat bercerita pengalaman mereka .
Sokhari cerita, ada 30 kepala keluarga atau total 70 orang warga kampung Glinseng yang masih tinggal di kawasan Indah Kiat. Mereka tersebar di empat titik dengan luas total lahan sekitar 1,2 hektar. Dan Kepemilikan tanahnya terbagi atas lima orang. Sokhari memiliki 500 m², Suparno 1000 m², Abil Fatkhi 500 m², Karim 1000 m² dan Sukardi 7.000 m². Diantara Warga yang tinggal disana satu sama lain masih memiliki hubungan keluarga.
Sokhari salah satu dari 70 warga kampung Glinseng yang masih bertahan di kawasan industry PT Indah Kiat Pulp and Paper. Diusianya yang sudah lebih dari separuh abad, Sokhari tidak pernah kehilangan semangat perlawanannya untuk mempertahankan hak-haknya. Suaranya yang khas menambah kharisma pria yang bertumbuh gempal ini. Dia selalu dijadikan tameng bagi warga kampung Glinseng yang “ditekan” oleh pihak yang mengganggu ketentraman kampungnya.
Sejak tahun 2000, Berjualan nasi, rokok dan kebutuhan sehari-hari bagi karyawan Indah Kiat menjadi andalan Sokhari, maklum saja untuk mendapatkan kesempatan bekerja di bidang lain, Sokhari banyak mengalami kendala. Selain karena factor umur, factor pendidikan juga mempersempit ruang kesempatan Sokhari untuk bersaing dengan jutaan pengangguran yang lain. Sampai saat ini warung nasinya menjadi andalan Sokhari dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya
“Tak ada pilihan lain” begitu kata Sokhari yang sudah menginjak umur 61 tahun. Dengan sisa-sisa tenaga dan keberanian yang dimiliki, dia berusaha untuk bertahan di rumah yang sudah ditempati lebih dari separuh hidupnya.
Sama hal dengan Sokhari, Suparno dan keluarga menggantungkan hidupnya pada usaha warung yang dikelola dia bersama istrinya. Pria bewokan ini mengungkapkan bahwa mereka merasa terpukul dengan perlakukan Indah Kiat yang telah sewenang-wenang kepada warga. pemberlakukan aturan perusahaan yang melarang setiap karyawannya untuk membeli makanan di warung warga dianggap sebagai ancaman bagi keberlangsungan hidup dia dan keluarganya.
Rumah Suparno berdampingan dengan gudang rol, persis didepan rumahnya sebuah kolam yang cukup lebar dengan genangan air yang menghijau menjadi pemandangan sehari-hari bagi Suparno dan keluarganya. Kolam tersebut menjadi pembatas antara rumahnya dengan lahan milik perusahaan. Tidak hanya itu saja, jalan penghubung dari rumahnya ke areal gudang pabrik itu telah ditutup.
Pembangunan parit dan penutupan jalan menuju warung nya membuat para karyawan menjadi tidak bisa datang ke warung Suparno. Hal ini membuat warungnya semakin hari semakin sepi. Tak mau mengalami kerugian yang lebih besar lagi, akhirnya Suparno memilih untuk menutup usahanya itu. Saat ini warung nya tampak terbengkalai tak terurus.
Pria yang dilahirkan limapuluh tahun yang lalu ini, sekarang harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Setiap hari dia mangkal ditempat parkir truk kontainer dan berharap para sopir truk disana mau menggunakan jasanya sebagai tukang parkir disana. Istri dan kelima orang anaknya pun di paksa untuk mengencangkan ikat pinggangnya lebih ketat karena pendapatan pria brewokan ini tidak lagi bisa dipastikan lagi. Tidak seperti kala mereka masih memiliki usaha warung yang setiap harinya ada sedikit rejeki yang bisa mereka sisihkan.
Pada Mei 2005, manajemen PT Indah Kiat Pulp and Paper melalui security section, dipimpin M. Hamdani, mengadakan “rapat koodinasi kerja” dengan pimpinan ekpesidi yang menjadi subkontrak Indah Kiat. Pertemuan ini membahas “sosialisasi tentang tata tertib dan sanksi bagi para karyawan kontraktor dan ekpedisi rekanan kerja Indah Kiat”. Salah satu isinya para karyawan dilarang membeli atau berbelanja makanan atau minuman dalam bentuk apapun kepada “pedagang asongan atau warung liar” di luar tempat yang telah ditentukan perusahaan. Jika melanggar, sanksinya berupa denda Rp 100,000. Pengumuman disebarkan dan ditempel di beberapa pintu masuk dan pos satpam.
Awalnya penetapan peraturan ini tidak begitu ditanggapi oleh karwayan. Mereka beranggapan itu “hanya peraturan tertulis” dan tak akan terjadi sanksi sejauh itu. Rupanya anggapan mereka keliru. Pada Maret 2006, sekelompok petugas keamanan merazia para karyawan yang sedang beristirahat di warung milik warga. Dalam catatan yang berhasil dihimpun oleh warga, pada tahun 2006 sekitar enam orang karyawan kontraktor dan ekspedisi rekanan kerja Indah Kiat telah “ditilang” . mereka mendapatkan sanksi karena melanggar peraturan untuk tidak membeli makanan dan minuman di warung yang dikelola warga Glinseng yang dianggap sebagai bagian dari warung illegal.
Tindakan tegas berupa denda Rp. 100.000, dan pendataan pelanggaran yang dilakukan pihak keamanan Indah Kiat terhadap karyawan yang membeli makanan di warung milik warga Glinseng, telah memberikan efek jera bagi karyawan lain. Para karyawan ketakutan. HD, salah satu karyawan mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka nyaman untuk beristirahat di warung warga, tapi sejak diberlakukannya peraturan yang tidak memperbolehkan karyawan membeli makanan di warung-warung yang telah disediakan perusahaan dan ada beberapa temannya yang terkena tilang oleh pihak keamanan perusahaan. Para karyawan menjadi ketakutan dan kalaupun ada yang masih berkunjung ke warung warga, itupun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
MT, Sopir yang biasa mangkal di warung miliknya Sukardi juga merasakan hal yang sama, buat dia warung milik warga itu memiliki kenyamanan tersendiri. Selain dekat dengan lokasi parkir kendaraannya, suasananya yang tenang cocok untuk melepaskan kelelahannya. Mengenai peraturan pelarangan itu, dia hanya mendengar dari temannya dan belum secara langsung mengalaminya.
Para karyawan yang ditemui, rata-rata mereka meminta untuk tidak disebutkan identitasnya, alasannya untuk keamanan mereka dalam bekerja. Sebenarnya, karyawan yang biasa mangkal di warung milik warga Glinseng adalah para karyawan perusahaan rekanan Indah Kiat, bukan karyawan langsung Indah Kiat. Status karyawanan mereka rata-rata kontrak dengan upah yang masih mengandalkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebesar Rp. 1.030.000. Dengan pendapatan mereka yang terbatas, denda Rp. 100.000 jelas merugikan para karyawan tersebut.
Sokhari merasa terheran-heran dengan pemberlakukan larangan tersebut, apalagi besaran denda yang diberikan kepada karyawan yang makan di warungnya.
“bayar untuk makannya tidak seberapa, tapi dendanya tidak masuk diakal”
Sokhari cerita, tahun 2007 pernah ada pihak keamanan Indah Kiat mendatangi warungnya, mereka melakukan razia. Kebetulan beberapa orang karyawan sedang mangkal di warungnya. Dan para karyawan tersebut ditanyain satu persatu dan ID nya di ambil. Sokhari yang melihat kejadian tersebut langsung menghampiri komandan nya dan mempertanyakan kejadian tersebut. Karena saling
keukeuh dengan pendapatnya, akhirnya pihak keamanan Indah Kiat dan Sokhari yang dibantu dengan warga yang lain rebutan ID para karyawan yang kena razia tersebut. Warga berhasil merebutnya dan meyerahkan kembali pada para karyawan. “kita kasihan pada karyawan bila yang ditilang, gajinya tidak seberapa” Sokhari mengemukan alasannya mengambil kembali ID karyawn yang diambil oleh pihak keamanan Indah Kiat.
Sokhari dan warga Glinseng lainnya menduga penerapan aturan ini “sengaja dibuat” sebagai bagain dari taktik perusahaan demi “menekan dan membuat warga menjadi tidak betah.”
“Hal ini jelas membunuh kami secara perlahan, ini bagian dari tekanan psikologis bagi kami agar pindah dari lahan kami dan melepas harga tanah kami semurah mungkin,” ujarnya.
“Kami sangat menyesalkan bahwa keberadaan kami dan warung kami di tuduh
illegal oleh perusahaan, Kami ini warga negara yang dilindungi oleh undang-undang dan mereka telah merampas hak hidup dan hak bekerja kami,” kata Sokhari, menegaskan.
“pas ada peraturan itu kita mati kutu, jangankan 10 orang atau 20 orang, 1 orang pun jarang, pendapatan jadi turun? Jangankan mencari keuntungan, modal pun habis untuk biaya sehari-hari” Sokhari menambahkan bahwa setelah aturan diterapkan, beberapa warung milk warga terpaksa tutup karena sepi pembeli. Warung milik Suparno adalah korban pertamanya. Para karyawan yang biasanya beristirahat dan makan di warung-warung ini menjadi ketakutan. Sanksi denda dianggap sangat memberatkan. Mereka juga takut jika dipecat dari perusahaannya. Alasannya, penghasilan mereka rendah serta status mereka sebagai karyawan kontrak mudah di PHK oleh perusahaan.
Kejadian ini menambah sulit beban hidup warga yang tinggal di kampung Glinseng. Selama ini mereka menggantungkan penghidupannya pada usaha warung yang mereka kelola. Setelah diberlakukannya peraturan tersebut oleh perusahaan, banyak karyawan yang tidak lagi membeli dagangan mereka, hasilnya mereka tidak lagi mempunyai penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebelum adanya peraturan, biasanya mereka bisa menyisihkan sebagian keuntungan dari hasil dagangan mereka. Akan tetapi setelah adanya larangan itu, mereka harus sangat berhemat dalam memenuhi kebutuhannya.
“kalau dulu masih ada sisa untuk sebulan. sekarang jangankan buat sebulan, modal aja selalu berputar, asal cukup untuk hari ini.” Dengan nada kecewa Sokhari meyesalkan kebijakan Indah Kiat tersebut.
Banyak kebijakan Indah Kiat yang berdampak pada kehidupan warga kampung Glinseng, tidak hanya permasalahan larangan bagi karyawan untuk membeli makanan di warung milik warga.Pembuatan parit yang mengelilingi lahan warga menambah persoalan tersendiri bagi warga kampung Glinseng.
Rumah Sukhari berada diantara gudang roll dan penampungan limbah kertas di areal milik Indah Kiat. Lokasi tersebut menjadikan rumah Sokhari dilintasi oleh setiap truk kontainer yang akan melakukan aktivitas bongkar muat. Cukup strategis. Para karyawan, yang sebagian besar bekerja untuk perusahaan rekanan bagi Indah Kiat menggunakan tempat Sokhari dan warga kampung Glinseng lainnya sebagai tempat makan dan beristirahat ketika proses bongkar dilakukan
Parit selebar satu meter serta kedalaman nya yang mencapai satu setengah meter lebih menjadi pembatas antara lahan milik Sokhari dengan Indah Kiat. Parit tersebut mengelilingi pemukiman warga sengaja di bangun oleh Pihak Indah Kiat sebagai usaha preventif perusahaan di dalam menghadapi bahaya kebakaran. Karena di dekat daerah tersebut, pada september 2006 pernah terjadi beberapa kali kebakaran yang melahap bagian Gudang kertas Indah Kiat, diperkirakan ribuan ton bahan baku kertas hangus terbakar. Untuk mencegah dan meminimalisir bahaya bila terjadi kebakaran, Indah Kiat melakukan pembangunan Parit dan penampungan air di lokasi-lokasi yang dianggap punya potensi bahaya kebakaran. Pembangunan Parit juga difungsikan sebagai saluran air bila terjadi hujan.
Bagi Sokhari dan warga kampung Glinseng pembangunan parit dan penampungannya ini sangat dikeluhkan. Warga merasa seperti diisolasi dan dibatasi ruang geraknya. Kekahwatiran lain adalah ancaman terhadap keselamatan anak-anak warga Kampung Glinseng yang sering bermain di sekitar lokasi tersebut. parit tersebut tanpa di batasi dengan batas pengamanan yang memadai. Selain itu rembesan air genangan parit tersebut dapat meresap ke sumber air mereka. Sampai saat ini mereka menggantungkan kebutuhan airnya pada air tanah yang terletak tidak jauh dari lokasi penampungan parit tersebut.
Bagi Pria gempal ini, berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Indah Kiat terhadap warga kampung Glinseng sudah mengindikasikan adanya tindakan yang melanggar HAM terhadap warga Glinseng. Dari mulai pelarangan karyawan Indah Kiat untuk membeli makanan di warung milik warga, pembuatan parit yang mengelilingi pemukiman warga sampai dengan diharuskannya warga memakai kartu tanda pengenal yang dikeluarkan oleh Indah Kiat mencerminkan sebuh tindakan yang merendahkan martabat warga kampung Glinseng. Bagi Sokhari segala bentuk tindakan Indah Kiat terhadap warga kampung Glinseng tidak lain sebagai strategi untuk membuat kondisi hidup warga tertekan, dan membuat kondisi hidup mereka kurang nyaman sehingga warga akan melepas kepemilikan tanahnya kepada Indah Kiat dengan harga yang murah.
“parit itu jadi sarang nyamuk sekarang, dan air di penampungan itu merembes ke sumur warga”Sokhari berkomentar sambil mengarahkan telunjuknya ke sebelah kiri rumahnya. Kearah kolam penampungan. Kolam seluas 10 x 7 meter persegi terletak di sebelah kiri rumah Sukhari dan tepat persis berhadapan dengan rumah milik Suparno. Airnya menghijau, tidak mengalir. Eceng gondok tampak tumbuh subur menutupi permukaan air tersebut.
Bila hujan turun, air dari gudang penampungan kertas di sebelah kanan lahan Sohkari mengalir menuju ke parit dan melaju menuju menampungan air di dekat rumah Sokhari. Yang dikhawatirkan oleh Sohkari, bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam sampah kertas tersebut larut bersama air dan mengendap di kolam penampungan. Yang pada akhirnya bisa membahaya bagi kesehatan warga yang mengandalkan kebutuhan air sehari-harinya dari sumur tanah disekitar lokasi tersebut.
Di lokasi lain, dua blok dari rumah Sokhari, Sukardi juga mengalami permasalahan yang tidak jauh berbeda
. Pria kelahiran Bantul ini mengalami perlakuan yang dianggapnya tidak manusiawi.Sukardi berniat untuk menunjukan bagaimana perlakukan Indah Kiat kepada dia dan keluarga nya yang dianggapnya sudah tidak manusiawi. Sampai saat ini dia dan keluarganya masih bertahan ditanahnya karena saat ini disitulah sumber mata pencaharian dia untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pria bertinggi 1,5 meter ini menikahi gadis warga Glinseng dan saat ini sudah di karunia tiga anak. Dua anaknya sudah tidak tinggal lagi bersama mereka, dan saat ini hanya anak lelaki yang paling kecil yang tinggal bersama mereka. Anak tersebut bernama Sujud. Saat ini dia berprofesi sebagai guru hororer di salah sekolah dasar di kabupaten Serang.
Dengan langkah tegap mantan pensiunan guru SMP ini berjalan menuju lahan milik keluarganya. Posisi lahannya lebih tinggi dari permukaan jalan. Kira-kira sekitar 2 meter. Sesaat dia berhenti dan merapikan setelan celananya. Kemudian bergerak merangkak, menaiki jalan setapak. Sesampai di atas , dia kemudian mengarahkan telunjuknya ke sekeliling lahan tersbut. “Ini tanah keluarga saya,” sambil mengarahkan pandangannya ke arah lahan yang dipenuhi alang-alang. Di beberapa sudut lain pohon albasiah tampak tumbuh mengakar. Tapi Sepertinya lahannya tak terawat dengan baik. Banyak tumpukan kayu yang berserakan yang sengaja dibiarkan oleh pemiliknya.
Sukardi kemudian mendekati tumpukan balok kayu tersebut. Di depan nya dia kemudian jongkok .
“Dulu kami ingin bangun warung di sini, tapi kayu kami dicuri dan bangunan yang baru setengan jadi itu dirubuhkan oleh pihak keamanan manajemen tapi mereka tidak mengakui melakukannya,” kata Sukardi, dengan suara parau, mengenang kejadian bulan Oktober tahun lalu.
Kenangan itu begitu membekas bagi Sukardi, hal ini mengingatkannya pada kejadian yang dianggap merendahkan harga dirinya. Kekecewaan Sukardi tampak ketika hendak memindahkan sebuah balok kayu kecil yang menghalangi langkahnya. Kayu tersebut diangkat dan kemudian dilempar sekuat tenaga sambil menghentakkan nafas dari mulutnya.
Sukardi cerita, di tempat itu. Dia dan adiknya, Abil Fatkhi, dibantu dengan warga lainnya sedang bekerja bakti untuk mendirikan sebuah warung milik Abil Fatkhi. Tepatnya tanggal 16 Oktober 2008, adiknya mendapatkan kabar bahwa kiriman balok kayu yang dipesannya akan datang hari ini. Sekitar jam satu siang, tiba-tiba mereka mendapatkan kabar bahwa truk yang mengangkut kayunya tidak diperbolehkan masuk ke areal lahan milik mereka. Truk tersebut tertahan di pintu 3 Indah Kiat. Padahal pintu masuk tersebut, satu-satunya jalan masuk terdekat menuju lokasi. Sopir truk tidak berdaya atas larangan pihak keamanan Indah Kiat. Dan diminta menurunkan balok kayu tersebut di pinggir jalan disekitar pintu gerbang tersebut.
Abil sempat mempertanyakan hal ini pada pihak keamanan Indah Kiat, namun jawabannya kurang memuaskan. Pihak keamanan hanya bilang “tidak ada izin” sehingga barang tidak boleh masuk. Dengan nada tinggi Abil mempertanyakan “siapa yang bertanggung jawab”. Sebenarnya dalam hati Abil, dia sudah tahu atas perintah siapa barangnya tidak boleh masuk. Tanpa menunggu jawaban dari pihak keamanan Indah Kiat, dia melaju menghampiri warga yang sedang bekerja. Sukardi yang saat itu menggunakan celana pendek dan baju dekil serta sandal jepit, tanpa berpikir panjang segera bergegas bersama Abil dan Sokhari menuju gedung putih. Sebutan warga untuk gedung tempat manajemen Indah Kiat berkantor.
Sesampai di Gedung putih, mereka langsung menuju bagian recepsionis gedung putih. Menyampaikan permintaan untuk bertemu dengan pihak manajemen Indah Kiat. Mereka diminta menunggu di kursi ruangan tunggu tamau yang terletak tak jauh dari meja resepsionis. Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya mereka diterima oleh bagian Humas Indah Kiat. Mereka menyatakan keberatan atas tindakan pihak keamanan Indah Kiat yang melarang masuk truk yang mengangkut balik kayu mereka. Mereka sangat berharap mendapatkan kata “ya” dari pihak manajemen Indah Kiat. Namun , usaha mereka tidak membuahkan hasil. Truk tetap dilarang masuk.
Bagi Sukardi, ada hal lain yang tidak bisa diterima oleh nya. Yakni perlakuan pihak di gedung putih itu yang membuat hatinya selalu sedih atas perlakuan itu. Menurut dia, karena pakaiannya yang dianggap kurang sopan oleh pihak gedung putih, banyak diantara staf gedung putih yang mempertanyakan kesopanan warga yang datang dengan tidak berpakaian rapi.
“kita itu sedang bekerja, dan tiba-tiba ada kejadian seperti itu” Sukardi mencoba menjelaskan alasan dia menggunakan celana pendek dan pakaian dekilnya.
Karena tidak mendapatkan izin dari Indah Kiat, Sukardi dan Abil kembali ke pintu 3 Indah Kiat. Dan kemudian memasukan balok kayu tersebut melalui gorong-gorong. Bagi kakak-beradik ini, tidak ada cara lain lagi untuk membawa masuk balok kayu ke lahan miliknya selain melalui gorong-gorong tersebut. Kayu tersebut tidak langsung dibawanya menuju ke lokasi, hanya ditinggal sementara. Selain karena hari menjelang malam, tenaga mereka pun telah habis untuk menahan kekesalan atas perlakukan Indah Kiat.
Esok harinya, Abil segera bergegas. Berniat mengambil balok kayu yang disimpan di gorong-gorong di dekat pos keamanan Indah Kiat. Sesampai di lokasi. Abil kaget bukan kepalang. Setelah dihitung balok kayunya berkurang 5 buah. Dengan menahan kemarahannya, dia mendatangi pos keamanan pintu 3. Tapi barang yang dicarinya tidak ada. Pihak keamanan disana menberikan jawaban “tidak tahu”. Setelah dicari ke sekitar Indah Kiat, dia menemukan balok kayu yang dicarinya tergeletak disamping kantor Indah Kiat. Karena merasa itu adalah miliknya, Abil mencoba mengambilnya. Tapi pihak keamanan Indah Kiat, meminta agar Abil meminta ijin dulu kepada Indah Kiat.
Saat itu perasaan Abil campur aduk. Antara marah, kesal dan merasa terintimidasi. Dia tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa mengadu Sukardi dan warga lainnya.
“Seumur hidup saya akan ingat kejadian itu,” ujar Sukardi.
Setelah kejadian itu, Abil melaporkan kehilangan balok kayu tersebut kepada Polsek Kragilan. sebagai pelapor, polisi telah melakukan BAP atas laporannya.
“tiga jam saya ditanyain” Abil mengungkapkan lamanya proses BAP di kepolisian. Laporannya Abil seperti hanya dicatat dan menjadi arsip pelaporan di pihak kepolisian. Karena Setelah itu, sampai hari ini belum ada kabar beritanya lagi.
“Yah begitulah orang kecil, hidupnya selalu dianak-tirikan,” celetuk Sukardi sembari bergegas menuju tempat lain.
Terlihat beberapa tukang yang sedang memperbaiki trotoar jalan Indah Kiat. Tak jauh dari situ terlihat gunungan tanah setinggi dua meter menglilingi sebuah lokasi tersebut. Dengan sigap Sukardi kembali bergegas menuju kearah gundukan tanah tersebut. tak berhenti disitu saja, dia kembali merangkak naik untuk menunjukan sesuatu didalam lokasi tersebut.
“itu rumah saya” dengan sedikit menundukan kepala dan mengarahkan jari telunjuknya kearah sebuah bangunan yang sudah tak terurus. Warna cat nya tampak muram, di banyak sudut ditumbuhi dengan sarang laba-laba. Di halaman nya berserakan dedaunan kering. beberapa pohon mangga tampak lebat dengan buahnya yang sudah pada ranum. Di beberapa rantingnya, tampak laba-laba sedang bersarang.
“Lihat tanggul ini, dan parit di bawahnya. Bagaimana kami bisa hidup kalau kami hidup seperti di isolasi begini, ini lah perlakuan perusahaan kepada kami” sepertinya amarah terpendam di dada Sukardi. Suaranya yang rendah, bergetar sedikit tertahan seperti menggambarkan bahwa tekanan hidup yang dialaminya salama ini begitu berat. Setelah menarik nafas panjang, kemudian dia menuruni gunungan tanah tersebut dan meloncati parit yang lebarnya sekitar satu meter. Halamannya lumayan luas. Rumah permanen yang dipenuhi pepohonan yang rindang. Di samping kanannya tampak tiga buah petak empang yang menjadi penopang hidup Sukardi dan keluarganya.
“bayangkan saja, bila saya tinggal disini, setiap hari kalau mau keluar rumah ini kita harus meloncati parit dan mendaki gunungan tanah itu. dan kalau naik kendaraan sudah tidak mungkin, bagaimana melewatinya? Jalannya sudah ditutup.” Sambil mengambil rsebatang ranting kering dan melemparkan ke arah parit.
Tindakan Indah Kiat yang dipersoalkan oleh warga, ditanggapi dingin oleh Dani Kusuma “Indah Kiat memiliki hak untuk membuat peraturan yang mengikat bagi seluruh karyawan.” . Dani mengibaratkan bahwa Indah Kiat sebagai rumah tangga. Layaknya rumah tangga Indah Kuat menentukan sendiri aturan-aturan dirumahnya. Seperti pelarangan warga untuk membeli makanan dan minuman di warung warga. Hal ini dilakukan untuk ketertiban dan hal itu untuk kesehatan para karyawan juga. . Pihak Indah Kiat sebenarnya telah memeliki sebuah kantin yang diperutukan untuk tempat istirahat dan makan para karyawannya. “kita ingin semuanya tertib” ungkap Dani.
Eksekutive Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Eknas Walhi) mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut M. Islah, staf Eknas Walhi, “PT IKPP telah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga kampung Glinseng dengan membatasi hak hidup, hak ekonomi dan bahkan hak politik warga. Islah menerangkan bahwa konsepsi pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan oleh negara, tetapi bisa juga dilakukan aktor selain negara, seperti
Multi National Corporation (MNC), kelompok bersenjata bahkan perseorangan. Mengapa MNC bisa melakukannya? Menurut Islah MNC memiliki kekuatan yang setara dengan negara. Bahkan bisa mempengaruhi negara dengan kekuatan lobby dan negoisasinya. Dan dalam kaitannya dengan Indah Kiat, menurut nya telah melakukan hal itu.
Pernyataan ini diamini juga oleh Walhi Jakarta, melalui Direkturnya, Ubaydillah Pelanggaran HAM tidak hanya di lakukan oleh negara tapi juga aktor perusahaan, dan dalam kasus Indah Kiat terlihat pemerintah seperti melakukan pembiaran terhadap kasus ini.hal ini juga sebagai bentuk pelanggaran ham yang dilakukan oleh negara.
PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk merupakan perusahaan multinasional, pusatnya di Jakarta. Produksi utama adalah kertas dan bubur kertas. Perusahaan ini didirikan 1981, memiliki pabrik utama di daerah Serang dan Tangerang, Banten. Di Serang produksi utamanya adalah kertas untuk kemasan boks, dengan kapasitas produksi sekitar 98.000 ton per bulan atau sekitar 1,1 juta ton per tahun.
PT IKPP Serang menempati lahan seluas 502 Hektar yang meliputi 5 desa di kecamatan Kragilan Kabupaten Serang, Banten. Sebagai perusahaan multinasional, PT IKPP telah mengembangkan konsep
cooporate social responsibility (CSR) yang diakui oleh pemerintahan setempat. Sejak 1997, PT IKPP telah melakukan program Orang Tua Asuh dan telah mendapatkan penghargaan dari pemerintah dalam Program Penghargaan Orang Tua Asuh Panutan. Selain itu juga, pada tahun 2004 pabrik yang memperkerjakan lima ribu orang karyawan ini telah mendapatkan sertifikasi untuk ISO 9002 untuk “Proses Quality” dan ISO 14001 untuk “Environment Friendly” dari kementrian Lingkungan Hidup.
PT IKPP termasuk perusahaan
pioneer didalam menjalankan program CSR di kabupaten Serang. Sampai saat ini program CSR yang diklembangkan oleh PT IKPP telah menjangkau tujuh kecamatan di Kabupaten Serang. Sebagian besar programnya diarahkan untuk mendukung infrastruktur pendidikan di kawasan tersebut.
Berbagai penghargaan yang telah diterima oleh PT IKPP dinafikan oleh warga kampung Glinseng. sampai saat ini mereka belum pernah merasakan bantuan langsung dari PT IKPP, baik untuk bantuan anak sekolah ataupun upaya perbaikan dilingkungan tempat tinggal mereka. Sokhari dengan tegas membantah bahwa mereka pernah menerima bantuan yang diberikan oleh PT IKPP kepada warga.“Banyak isu yang berkembang diluar sana, bahwa kami menerima bantuan sekolah untuk anak kami seperti tas, buku dan sebagainya. Tapi itu semua bohong. Kami tidak pernah” ungkap Sokhari.
Sukardi menambahkan bahwa selama ini Indah Kiat tidak pernah memberikan kompensasi dalam bentuk apapun, padahal selama ini warga yang tinggal di dalam kawasan Indah kiat yang mengalami dampak nya langsung dari Indah Kiat.
Sokhari yang tinggal di dekat gudang Indah Kiat menyatakan “kalo suara bising sudah biasa disini”
Persoalan tentang bentuk kepedulian perusahaan Indah Kiat kepada warga ini di jelaskan oleh Dani Kusuma bahwa program CSR yang dikembangkan tidak secara langsung memberikan bantuan uang tunai atau barang kepada warga disekitar pabrik, tetapi memberikannya langsung kepada sekolah-sekolah yang ada di kabupaten Serang ini.
“Jadi secara tidak langsung warga yang anaknya sekolah di sekolahan yang kami bantu itu merasakan manfaatnya, disamping itu juga banyak warga yang memanfaatkan limbah perusahaan untuk menjadi penopang hidup mereka”
Merujuk Undang-Undang No 10 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengamanatkan kepada perusahaan untuk menjalankan tanggungjawab sosial kepada masyarakat disekitarnya. CSR sebagai bentuk dari kompensasi perusahaan kepada masyarakat karena selama menjalankan bisnisnya.
“CSR adalah kewajiban perusahaan bukan sumbangan, dan masyarakat terkena dampak langsung dari proses produksinya yang berhak mendapatkan prioritas.”ungkap Hanita dari Lembaga Bantuan Hukum Bandung. Hanita menambahkan bahwa saat ini banyak kegiatan sosial dari perusahaan yang hanya dijadikan
lips service untuk menutupi kondisi yang sebenarnya.
Lalu mengapa PT IKPP tidak pernah memberikan bantuan kepada warga kampung Glinseng? padahal mereka termasuk warga yang kurang mampu dan pastinya yang selalu terkena dampak dari proses produksi di pabrik PT IKPP. Dalam hal ini Dani Kusuma mempunyai alasan tersendiri “bagi kita mereka terus menunjukkan konflik”. Sungguh Ironi.
Setelah mendapatkan pengaduan dari warga, pada tanggal 20 April 2009, Komnas Ham melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke lokasi sengketa, dipimpin langsung oleh Ridha Saleh. Dengan didampingi oleh dua orang stafnya mereka berkeliling meninjau lokasi pemukiman warga dan sempat melakukan wawancara langsung dengan warga dan karyawan yang kebetulan sedang istirahat di warung milik warga Glinseng.
Atas dasar pengaduan warga dan temuan lapangan, Komnas Ham kemudian meminta penjelasan kepada pihak Indah Kiat atas permasalahannya dengan warga kampung Glinseng. Begitu pun dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang tak luput dimintai penjelasannya. Setelah melakukan pertemuan dengan pihak-pihak terkait, akhirnya dengan kewenangan yang dimilikinya, Komnas Ham melalui suratnya tertanggal 15 Mei 2009, nomor 1.513/K/PMT/V/2009 memutuskan untuk mengeluarkan rekomendasi penetapan status qou bagi lahan warga kampung.
Siang itu, Jakarta begitu menyengat. Enam orang yang sedang berbincang diluarpun merasa terusir oleh panasnya terik matahari. Mereka bergerombol masuk menuju ruang lobby. Dan duduk dikursi yang tersedia di sana. Mereka adalah perwakilan dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) yang sedang menunggu Ubaydillah, dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta. Niatan mereka untuk bersama-sama mempertanyakan perkembangan kasus warga Glinseng dengan Indah Kiat kepada Komnas Ham. Hari itu adalah hari Kamis, 29 Oktober 2009, hari yang dijanjikan oleh Ridah Saleh untuk bisa menemui perwakilan dari Walhi Jakarta dan PBHI.
Tak lama berselang, orang yang ditunggupun datang. Mereka langsung bergegas ke meja resepsionis dan meminta bertemu dengan Ridha Saleh, salah seorang komisioner Komnas Ham. Karena sudah ada agendanya, mereka pun bergegas menuju lantai 3 gedung tersebut.
Di lantai tiga gedung Komnas Ham suasana begitu lengang. Tak banyak orang. Seperangkat kursi sofa tergelar di tengah ruangan, disisi kanannya tampak seorang penjaga yang sedang membaca surat masuk. Melihat rombongan datang, dia pun dengan sigap menghampiri dan mempertanyakan maksud kedatangan rombongan. Setelah dijelaskan. Rombongan dipersilahkan duduk di sofa. Dan tak lama berselang, Ridha Saleh pun muncul dari dalam ruangannya menyambut mereka.
Setelah saling memperkenalkan diri, Ubaydillah menjelaskan masksud dan tujuan nya bertemu dengan Ridha Saleh.
“kita ingin tahu perkembangan kasus warga Glinseng” sambut Ubaydillah dengan merapatkan kedua telapak tangannya. “setelah penetapan status qou, apa langkah selanjutnya dari Komnas HAM tentang kasus ini” Ubaydillah melanjutkan pertanyaannya dengan tetap merapatkan kedua telapak tangannya diatas pangkuannya.
Ridha saleh menjelaskan bahwa setelah mengeluarkan rekomendasi status qou terhadap sengketa antara warga Glinseng dengan Indah Kiat, Komnas Ham telah mendorong dilakukan nya upaya mediasi antara kedua belah pihak yang bersengketa. Dan meminta pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati Serang untuk terlibat aktif didalam meyelesaikan kasus ini.
“dan kami, dari Komnas Ham terus memantau kasus ini” ungkap Ridha Saleh.
“bila kawan-kawan mendapatkan temuan baru atau kasus baru yang berkaitan dengan kasus ini, segera kasih tahu ke saya. Nanti kita akan menindak lanjutinya” Ridha saleh dengan pembawaannya yang tenang meminta dukungan dari perwakilan yang hadir untuk bersama-sama memantau kasus yang antara warga Glinseng dengan Indah Kiat. Permintaan dari Ridha Saleh ini mengakhiri pertemuannya sekitar 30 menitan dengan perwakilan Walhi Jakarta dan PBHI.
Dengan hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek, seperti biasa Sokhari duduk menyandar di kursi favoritnya. Sebatang rokok tak lepas dari genggamannya. Kopi dan hidangan ringan telah siap menemaninya.
Sedikit bisa bernafas lega, ternyata banyak pihak yang mendukung perjuangnya. Komnas Ham, yang dianggapnya sebagai lembaga yang berpengaruh ternyata memperhatikan kasusnya. Sepertinya tidak sia-sia perjuangannya selama ini. Namun, dia tetap meyakini hal ini belum selesai dan perjuangan masih panjang .
Dalam proses advokasi yang mereka lakukan saat ini, mereka membentuk Forum Masyarakat Glingseng dibantu Wahana Lingkungan Hidup Jakarta. Tujuannya, “mengorganisir perjuangan” serta “mempererat solidaritas” di antara warga kampung Glinseng.
“walau kita rakyat jelata, Kita tidak takut” pekik Sokhari.